MELIHAT SECARA
SOSIOLOGIS EKSISTENSI RESEPSI PERNIKAHAN DI ERA PANDEMI
Oleh : Febriani Dwi Nurimaniwati,S.Sos
Indonesia
merupakan negara multikultural di mana setiap wilayah memiliki adat tersendiri. Ragam dan variasi
adat ini tentu berbeda, tergantung pada tradisi, suku, bangsa, dan agama tiap
wilayah. Keberagaman memunculkan perbedaan karakter, bahasa, pola interaksi
sosial, maupun upacara adat. Namun begitu ada satu hal yang menarik yang dapat
kita tarik persamaannya yaitu tradisi dalam pernikahan. Tradisi pernikahan di
Indonesia yang paling kentara adalah resepsi pernikahan. Secara umum, mayoritas
pasangan di Indonesia akan melakukan prosesi lamaran sebelum dilakukan prosesi
pernikahan. Prosesi sebelum pernikahan sampai puncaknya adalah resepsi
pernikahan.
Resepsi
pernikahan merupakan satu acara yang membutuhkan banyak waktu, pikiran,tenaga,
dan tentu saja materi yang tidak sedikit. Upacara pernikahan setiap suku juga
berbeda ,misalkan upacara pernikahan adat Bugis, pernikahan adat Batak,
pernikahan adat Banjar, pernikahan adat Bali, maupun pernikahan adat Jawa.
Dalam setiap upacara pernikahan adat tentu ada serangkaian prosesi di dalamnya
di mana membutuhkan waktu dan biaya yang terbilang mahal. Contohnya adalah
pernikahan adat Jawa. Dalam pernikahan adat Jawa terdapat beberapa ritual yang
harus dilaksanakan bahkan sebelum menikah seperti siraman, pingitan, malam
midodaren,srah-srahan. Setelah akad, masih ada ritual upacara panggih,
penyerahan sanggan, balang gantal, sampai ritual siraman. Serangkaian prosesi
yang panjang ini menjadi simbol penguat bahwa pasangan suami istri tersebut
siap mengusung adat budaya pernikahan yang ia junjung. Artinya bahwa mereka
akan siap dengan segala konsekuensinya mulai dari repotnya persiapan hingga
biaya pernikahan yang mahal.
Di Indonesia sendiri, sudah menjadi kebiasaan
bahwa sebuah pernikahan harus memiliki pesta resepsi. Pesta resepsi menjadi
tolak ukur mewahnya pernikahan seseorang. Setiap kelas sosial akan memiliki standart
pesta resepsi masing-masing. Telah lama, resepsi pernikahan mengalami
pergeseran makna, dahulu resepsi pernikahan hanya dihadiri oleh kedua belah
pihak keluarga mempelai saja. Namun, bertahun tahun lamanya resepsi pernikahan
berubah menjadi keharusan dan simbol kemampuan keluarga mempelai dalam
menghadirkan banyak orang dalam resepsi pernikahan tersebut. Pola pikir dan
kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial menurut
Jacobus Ranjabar adalah perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia,
perubahan tersebut dapat mencakup nilai sosial dan norma sosial, pola perilaku
organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan, dan interaksi sosial.[1]
Pesta pernikahan yang memiliki makna rasa syukur dengan mengundang orang
terdekat, berubah menjadi resepsi pernikahan dengan banyak undangan yang
notabene tidak hanya orang terdekat namun orang yang dikenal shingga cakupan
undangannya menjadi lebih luas. Mulai dari tamu undangan mempelai pria dan
wanita serta kerabat dan kenalan orang tua mempelai maupun kerabat dan kenalan
kedua keluarga mempelai. Artinya adalah bahwa resepsi pernikahan akan
mengundang banyak orang, kita asumsikan tamu undangan yang hadir adalah 300
sampai 500 orang. Ini berarti ritual pernikahan yang seharusnya hanya sebatas
akad atau pemberkatan saja menjadi sebuah acara resepsi pernikahan yang high budget.
Pernikahan
adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua
orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma
hukum, dan norma sosial. [2]Artinya
bahwa apabila dua orang telah sepakat untuk menikah mereka harus melalui proses
untuk mengurus hal-hal terkait dengan syarat pernikahan sesuai dengan agama
masing-masing dan akan tercatat secara hukum. Apabila keduanya sudah terpenuhi
maka sebenarnya sudah sah di mata Tuhan, hukum dan masyarakat. Namun, berkenaan
dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang lekat satu sama lain, maka
sebuah pernikahan identik dengan resepsi di mana apabila resepsi sudah
dilakukan akan “dianggap” sah oleh kedua belah keluarga dan kerabat maupun
kenalannya. Tujuan dari resepsi adalah mengundang kerabat, teman atau kenalan
kedua keluarga mempelai untuk menghadiri dan menyaksikan puncak dari acara
pernikahan tersebut. Dalam istilah Jawa, tamu yang diundang menyebutnya dengan
sebutan “jagong”. Dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia, “jagong” memiliki arti datang duduk-duduk di rumah orang yang punya
hajat.[3]
Pada bulan Februari akhir tahun 2020, covid-19 mulai
masuk di Indonesia. Musibah ini tentu menyebar secara luas di beberapa tempat
sampai akhirnya merebak di seluruh wilayah. Kelumpuhan di segala aspek terjadi,
terlebih di aspek kesehatan. Indonesia bersiap dengan tenaga kesehatan berada
di garda terdepan. Yang paling kentara adalah aspek ekonomi dan aspek
kesejahteraan sosial. Banyak orang kehilangan perkerjaan karena PHK, banyak
wirausaha yang gulung tikar karena tidak ada konsumen. Demi menghalau
penyebaran virus, pemerintah menerapkan kebijakan dan himbauan taat pada
protokoler kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Pemerintah juga menerapkan sistem PSBB yang membatasi gerak masyarakat, agar
tetap di rumah. Hal ini juga menjadi faktor yang melemahkan kondisi ekonomi
seseorang. Toko retail banyak yang bangkrut, swalayan besar dan kecil membatasi
jam buka, warung makan banyak yang sepi, sekolah tatap muka ditiadakan, sampai
sekarang. Semua orang merasakan dampak nya secara nyata. 6 bulan pertama adalah
fase di mana semua orang belajar menerima, belajar ikhlas, dan belajar bangkit
dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Segala rencana yang sudah diagendakan
menjadi batal atau diundur tanpa kepastian. Setelah fase kritis itu, di bulan
Juni 2020 kita mengalami fase new normal. Fase new normal merupakan bentuk
perubahan yang dipicu oleh krisis dan adaptasi sistem baru yang bisa mencehgah
terjadinya kembali atau mempersiapkan diri menghadapi sebuah situsasi kritis.[4]
Fase dimana kita harus berdamai dengan kondisi, beraktifitas dengan prokes yang
diterapkan dan perlahan mulai bergerak untuk memulihkan kondisi ekonomi diri.
Mulai menata lagi agenda yang terbengkalai.
Memasuki era new normal, kita menghadapi perubahan sikap
dan gaya hidup di mana dalam kehidupan sehari hari kita harus mematuhi protokoler kesehatan ,
sektor informal dan UMKM yang notabene menjadi tumpuan ekonomi rakyat mulai
bangkit, bisnis online dan offline mulai menggeliat, termasuk bisnis
pernikahan. Dalam fase new normal ini, masyarakat mulai kembali mengadakan
acara baik secara virtual maupun temu langsung sesuai dengan protokoler
kesehatan yang ada. Uniknya, di masa pandemi yang serba terbatas, masyarakat di
Indonesia tetap melaksanakan pernikahan dengan resepsi pernikahan. Resepsi
pernikahan tetap menjadi puncak acara yang dinanti-nanti. Di masa sekarang
resepsi pernikahan sangatlah unik, menarik, dan kompleks. Di era digital yang
erat terhubung dengan sosial media, acara resepsi pernikahan dibuat instagramable.
Resepsi pernikahan yang dilakukan baik indoor maupun outdoor menyuguhkan spot
menarik untuk foto bagi tamu. Selama era new normal, kita sudah mulai
menghadiri resepsi pernikahan. Baik di kota maupun di desa. Selama pandemi,
berbagai macam acara resepsi dilakukan meskipun dengan jumlah tamu terbatas
atau dikenakan sistem shift. Mulai dari undangan pernikahan yang
penyebarannya bersifat virtual, bisa melalui instagram, facebook, maupun
whatsapp. Pada saat memasuki gedung pernikahan, sudah disiapkan tempat cuci
tangan dan ada panitia pengecekan suhu. Terdapat batas antrian untuk menjaga
agar tamu masuk secara teratur. Di meja depan, beberapa resepsi masih
menggunakan buku tamu untuk menulis tamu undangan yang hadir, ada kotak
sumbangan yang disediakan dan tentu hand sanitizer. Di beberapa tempat
resepsi yang sifatnya modern, tidak ada buku tamu namun sudah ada scan
barcode android jadi tamu tidak perlu memegang pulpen dan buku tamu. Pada
beberapa tempat resepsi, di dekat buku tamu ada yang menyediakan meja snack
dimana tamu bisa mengambil sendiri snack yang disediakan. Di beberapa resepsi
yang lebih mewah seperti di hotel, semua makanan sudah diberi sekat dan ada
pramusaji yang bertugas untuk mengambilkan makanan untuk para tamu. Semua tamu
harus memakai masker, tidak ada jabat tangan dan cium pipi, meskipun tetap ada
sesi foto tapi dilakukan secara cepat. Beberapa resepsi pernikahan yang sangat
ketat protokoler kesehatan, bahkan tidak ada sesi makan di tempat. Panitia
sudah memberi bingkisan berupa makanan dan cinderamata yang bisa di bawa
pulang. Ada pula konsep pernikahan drive thru yaitu tamu tetap melakukan
tradisi ‘njagong’ di dalam mobil dan mengelilingi area resepsi mulai
dari pintu masuk untuk cek protokoler kesehatan dan cek tamu undangan kemudian
menuju ke spot pengantin dimana sudah ada pengantin yang duduk di pelaminan
namun hanya bisa memberikan selamat dari dalam mobil kemudian melaju ke spot
konsumsi dan cinderamata dan menuju pintu keluar. Di pinggiran atau pedesaan bahkan resepsi pernikahan tetap diiringi
orkes dangdut dan sangat meriah, meskipun tetap menggunakan protokoler
kesehatan tidak mengurangi esensi dari sebuah resepsi itu sendiri.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya resepsi
pernikahan ini telah mengakar di masyarakat kita. Betapa himpitan pandemi dan
keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang bagi banyak orang untuk tetap
menggelar resepsi. Berbaga cara diupayakan agar resepsi pernikahan tetap
berlangsung. Meskipun seharusnya di masa pandemi ini, masyarakat bisa lebih
prihatin bahkan mengesampingkan hal-hal yang bersifat pemborosan, namun hal itu
tidak menjadi kendala. Secara sosiologis,
bahwa budaya resepsi pernikahan merupakan sebuah bentuk interaksi
masyarakat di mana ada timbal balik dari keduanya. Dari segi mempelai, resepsi
menjadi sebuah aksi unjuk diri bahwa pesta seumur hidup sekali ini akan
dikenang oleh banyak orang dengan konsep yang berbeda tiap pasangan. Semakin
mewah pesta, maka keluarga mempelai akan semakin bangga. Dari segi tamu,
menghadiri resepsi pernikahan adalah bentuk menghargai mereka kepada mempelai
dan memberikan sumbangan terbaik. Hal ini dilakukan karena sebagian orang akan
berpikir bahwa sumbangan yang mereka berikan akan balik ke mereka ketika mereka
juga memiliki hajatan .
Sebuah resepsi pernikahan menjadi norma kelaziman bagi
masyarakat Indonesia di mana sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan secara
turun temurun menghasilkan sebuah prestige bagi pasangan yang
melakukannya. Resepsi yang mewah dan meriah akan selalu dikenang sepanjang masa
baik bagi mempelai maupun tamu yang diundang. Tidak menampik bahwa era digital
sekarang ini memberikan kemudahan dalam segala bidang. Modernisasi memancing
seseorang untuk bergaya hidup konsumtif. Perilaku konsumtif juga terlihat dalam
resepsi pernikahan. Semakin mampu seseorang semakin banyak tamu yang diundang,
semakin beragam makanan yang disajikan, semakin mewah dekorasi dan
cinderamatanya. Hal ini yang belakangan melahirkan bisnis Wedding Organizer
(WO) semakin ramai. Di era new normal ini, bisnis WO mulai menunjukkan jati
dirinya kembali. Dengan beragam konsep seperti masa normal namun ditambahi
dengan protokoler kesehatan. Sebuah resepsi pernikahan yang tetap dilakukan
dalam kondisi apapun, meskipun di tengah pandemi yang melanda di masyarakat kita tentu menjadi sebuah
sign value atau nilai tanda bagi pelakunya. Resepsi pernikahan
menggambarkan sebuah nilai tanda kelas sosial kepada kedua belah pihak dan
dianggap tetap”mampu” karena dilaksanakan di tengah pandemi. Pola pikir di
masyarakat adalah sebuah resepsi pernikahan merupakan keabsahan bagi pengantin
dan disaksikan serta dihadiri orang banyak.
Talcott Parsons
menjelaskan bahwa setiap individu harus memiliki kemampuan beradaptasi sehingga
bisa bertahan terhadap lingkungannya. Di sisi lain, individu juga memiliki
kemampuan untuk merubah
lingkungan sesuai apa yang diharapkan. Sebagaimana dalam skema tindakan
Parsons, terdapat empat komponen penting dalam sistem social yakni; actor atau
pelaku, tujuan, situasi, dan standar-standar normatif yang berlaku dalam masyarakat. Tindakan
konsumtif tidak terlepas dari keempat komponen tersebut. Individu sebagai aktor atau pelaku memiliki kekuasaan penuh
terhadap dirinya untuk mengambil bagian dari lingkungan yang dianggapnya
memberikan kontribusi terhadap nilai sosial dirinya[5]. secara sosiologis ,
individu dianggap mampu beradaptasi dengan standar normatif yang ada, dalam hal
ini resepsi pernikahan menjadi sebuah standar pernikahan yang harus diadakan
karena telah berlangsung cukup lama dan berkembang menjadi adat. Resepsi
pernikahan yang mewah dengan standar wilayah sendiri sendiri misalkan di
perkotaan resepsi hadir di gedung megah atau outdoor dengan menggunakan
jasa WO dan di wilayah pinggiran atau pedesaan resepsi pernikahan dihadiri
selurh warga desa dan tetangga desa dengan pesta berhari hari ditambah dengan
orkes dangdut atau campursari, melahirkan perilaku konsumtif di masyarakat.
Kesan yang didapat dari sebuah resepsi akan mengena di hati tamu para undangan
sehingga akan menggulirkan bentuk resepsi yang sama pula bahkan bisa dibuat
lebih meriah, dan semua hal ini tetap terjadi meskipun di masa pandemi.
[1] Ranjabar.Perubahan Sosial dalam Teori Makro, hal 12.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan
[3] https://kamuslengkap.com/kamus/jawa-indonesia/arti-kata/jagong
[4] Wawan mas’udi-Poppy S.Winanti. New Normal:
Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19,hal.7.
[5]
Nila
Sastrawati.Konsutivisme dan status sosial ekonomi masyarakat.hal 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar