Banner 728x90px

Kamis, 07 Oktober 2021

ARTIKEL


 

MELIHAT SECARA SOSIOLOGIS EKSISTENSI RESEPSI PERNIKAHAN DI ERA PANDEMI

Oleh : Febriani Dwi Nurimaniwati,S.Sos

 

Indonesia merupakan negara multikultural di mana setiap wilayah  memiliki adat tersendiri. Ragam dan variasi adat ini tentu berbeda, tergantung pada tradisi, suku, bangsa, dan agama tiap wilayah. Keberagaman memunculkan perbedaan karakter, bahasa, pola interaksi sosial, maupun upacara adat. Namun begitu ada satu hal yang menarik yang dapat kita tarik persamaannya yaitu tradisi dalam pernikahan. Tradisi pernikahan di Indonesia yang paling kentara adalah resepsi pernikahan. Secara umum, mayoritas pasangan di Indonesia akan melakukan prosesi lamaran sebelum dilakukan prosesi pernikahan. Prosesi sebelum pernikahan sampai puncaknya adalah resepsi pernikahan. 

Resepsi pernikahan merupakan satu acara yang membutuhkan banyak waktu, pikiran,tenaga, dan tentu saja materi yang tidak sedikit. Upacara pernikahan setiap suku juga berbeda ,misalkan upacara pernikahan adat Bugis, pernikahan adat Batak, pernikahan adat Banjar, pernikahan adat Bali, maupun pernikahan adat Jawa. Dalam setiap upacara pernikahan adat tentu ada serangkaian prosesi di dalamnya di mana membutuhkan waktu dan biaya yang terbilang mahal. Contohnya adalah pernikahan adat Jawa. Dalam pernikahan adat Jawa terdapat beberapa ritual yang harus dilaksanakan bahkan sebelum menikah seperti siraman, pingitan, malam midodaren,srah-srahan. Setelah akad, masih ada ritual upacara panggih, penyerahan sanggan, balang gantal, sampai ritual siraman. Serangkaian prosesi yang panjang ini menjadi simbol penguat bahwa pasangan suami istri tersebut siap mengusung adat budaya pernikahan yang ia junjung. Artinya bahwa mereka akan siap dengan segala konsekuensinya mulai dari repotnya persiapan hingga biaya pernikahan yang mahal.

 Di Indonesia sendiri, sudah menjadi kebiasaan bahwa sebuah pernikahan harus memiliki pesta resepsi. Pesta resepsi menjadi tolak ukur mewahnya pernikahan seseorang. Setiap kelas sosial akan memiliki standart pesta resepsi masing-masing. Telah lama, resepsi pernikahan mengalami pergeseran makna, dahulu resepsi pernikahan hanya dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga mempelai saja. Namun, bertahun tahun lamanya resepsi pernikahan berubah menjadi keharusan dan simbol kemampuan keluarga mempelai dalam menghadirkan banyak orang dalam resepsi pernikahan tersebut. Pola pikir dan kehidupan masyarakat telah mengalami perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Jacobus Ranjabar adalah perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, perubahan tersebut dapat mencakup nilai sosial dan norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, kekuasaan, dan interaksi sosial.[1] Pesta pernikahan yang memiliki makna rasa syukur dengan mengundang orang terdekat, berubah menjadi resepsi pernikahan dengan banyak undangan yang notabene tidak hanya orang terdekat namun orang yang dikenal shingga cakupan undangannya menjadi lebih luas. Mulai dari tamu undangan mempelai pria dan wanita serta kerabat dan kenalan orang tua mempelai maupun kerabat dan kenalan kedua keluarga mempelai. Artinya adalah bahwa resepsi pernikahan akan mengundang banyak orang, kita asumsikan tamu undangan yang hadir adalah 300 sampai 500 orang. Ini berarti ritual pernikahan yang seharusnya hanya sebatas akad atau pemberkatan saja menjadi sebuah acara resepsi pernikahan yang high budget.

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. [2]Artinya bahwa apabila dua orang telah sepakat untuk menikah mereka harus melalui proses untuk mengurus hal-hal terkait dengan syarat pernikahan sesuai dengan agama masing-masing dan akan tercatat secara hukum. Apabila keduanya sudah terpenuhi maka sebenarnya sudah sah di mata Tuhan, hukum dan masyarakat. Namun, berkenaan dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang lekat satu sama lain, maka sebuah pernikahan identik dengan resepsi di mana apabila resepsi sudah dilakukan akan “dianggap” sah oleh kedua belah keluarga dan kerabat maupun kenalannya. Tujuan dari resepsi adalah mengundang kerabat, teman atau kenalan kedua keluarga mempelai untuk menghadiri dan menyaksikan puncak dari acara pernikahan tersebut. Dalam istilah Jawa, tamu yang diundang menyebutnya dengan sebutan “jagong”. Dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia, “jagong” memiliki arti datang duduk-duduk di rumah orang yang punya hajat.[3]

Pada bulan Februari akhir tahun 2020, covid-19 mulai masuk di Indonesia. Musibah ini tentu menyebar secara luas di beberapa tempat sampai akhirnya merebak di seluruh wilayah. Kelumpuhan di segala aspek terjadi, terlebih di aspek kesehatan. Indonesia bersiap dengan tenaga kesehatan berada di garda terdepan. Yang paling kentara adalah aspek ekonomi dan aspek kesejahteraan sosial. Banyak orang kehilangan perkerjaan karena PHK, banyak wirausaha yang gulung tikar karena tidak ada konsumen. Demi menghalau penyebaran virus, pemerintah menerapkan kebijakan dan himbauan taat pada protokoler kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Pemerintah juga menerapkan sistem PSBB yang membatasi gerak masyarakat, agar tetap di rumah. Hal ini juga menjadi faktor yang melemahkan kondisi ekonomi seseorang. Toko retail banyak yang bangkrut, swalayan besar dan kecil membatasi jam buka, warung makan banyak yang sepi, sekolah tatap muka ditiadakan, sampai sekarang. Semua orang merasakan dampak nya secara nyata. 6 bulan pertama adalah fase di mana semua orang belajar menerima, belajar ikhlas, dan belajar bangkit dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Segala rencana yang sudah diagendakan menjadi batal atau diundur tanpa kepastian. Setelah fase kritis itu, di bulan Juni 2020 kita mengalami fase new normal. Fase new normal merupakan bentuk perubahan yang dipicu oleh krisis dan adaptasi sistem baru yang bisa mencehgah terjadinya kembali atau mempersiapkan diri menghadapi sebuah situsasi kritis.[4] Fase dimana kita harus berdamai dengan kondisi, beraktifitas dengan prokes yang diterapkan dan perlahan mulai bergerak untuk memulihkan kondisi ekonomi diri. Mulai menata lagi agenda yang terbengkalai. 

Memasuki era new normal, kita menghadapi perubahan sikap dan gaya hidup di mana dalam kehidupan sehari hari  kita harus mematuhi protokoler kesehatan , sektor informal dan UMKM yang notabene menjadi tumpuan ekonomi rakyat mulai bangkit, bisnis online dan offline mulai menggeliat, termasuk bisnis pernikahan. Dalam fase new normal ini, masyarakat mulai kembali mengadakan acara baik secara virtual maupun temu langsung sesuai dengan protokoler kesehatan yang ada. Uniknya, di masa pandemi yang serba terbatas, masyarakat di Indonesia tetap melaksanakan pernikahan dengan resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan tetap menjadi puncak acara yang dinanti-nanti. Di masa sekarang resepsi pernikahan sangatlah unik, menarik, dan kompleks. Di era digital yang erat terhubung dengan sosial media, acara resepsi pernikahan dibuat instagramable. Resepsi pernikahan yang dilakukan baik indoor maupun outdoor menyuguhkan spot menarik untuk foto bagi tamu. Selama era new normal, kita sudah mulai menghadiri resepsi pernikahan. Baik di kota maupun di desa. Selama pandemi, berbagai macam acara resepsi dilakukan meskipun dengan jumlah tamu terbatas atau dikenakan sistem shift. Mulai dari undangan pernikahan yang penyebarannya bersifat virtual, bisa melalui instagram, facebook, maupun whatsapp. Pada saat memasuki gedung pernikahan, sudah disiapkan tempat cuci tangan dan ada panitia pengecekan suhu. Terdapat batas antrian untuk menjaga agar tamu masuk secara teratur. Di meja depan, beberapa resepsi masih menggunakan buku tamu untuk menulis tamu undangan yang hadir, ada kotak sumbangan yang disediakan dan tentu hand sanitizer. Di beberapa tempat resepsi yang sifatnya modern, tidak ada buku tamu namun sudah ada scan barcode android jadi tamu tidak perlu memegang pulpen dan buku tamu. Pada beberapa tempat resepsi, di dekat buku tamu ada yang menyediakan meja snack dimana tamu bisa mengambil sendiri snack yang disediakan. Di beberapa resepsi yang lebih mewah seperti di hotel, semua makanan sudah diberi sekat dan ada pramusaji yang bertugas untuk mengambilkan makanan untuk para tamu. Semua tamu harus memakai masker, tidak ada jabat tangan dan cium pipi, meskipun tetap ada sesi foto tapi dilakukan secara cepat. Beberapa resepsi pernikahan yang sangat ketat protokoler kesehatan, bahkan tidak ada sesi makan di tempat. Panitia sudah memberi bingkisan berupa makanan dan cinderamata yang bisa di bawa pulang. Ada pula konsep pernikahan drive thru yaitu tamu tetap melakukan tradisi ‘njagong’ di dalam mobil dan mengelilingi area resepsi mulai dari pintu masuk untuk cek protokoler kesehatan dan cek tamu undangan kemudian menuju ke spot pengantin dimana sudah ada pengantin yang duduk di pelaminan namun hanya bisa memberikan selamat dari dalam mobil kemudian melaju ke spot konsumsi dan cinderamata dan menuju pintu keluar. Di pinggiran atau pedesaan  bahkan resepsi pernikahan tetap diiringi orkes dangdut dan sangat meriah, meskipun tetap menggunakan protokoler kesehatan tidak mengurangi esensi dari sebuah resepsi itu sendiri.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya resepsi pernikahan ini telah mengakar di masyarakat kita. Betapa himpitan pandemi dan keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang bagi banyak orang untuk tetap menggelar resepsi. Berbaga cara diupayakan agar resepsi pernikahan tetap berlangsung. Meskipun seharusnya di masa pandemi ini, masyarakat bisa lebih prihatin bahkan mengesampingkan hal-hal yang bersifat pemborosan, namun hal itu tidak menjadi kendala. Secara sosiologis,  bahwa budaya resepsi pernikahan merupakan sebuah bentuk interaksi masyarakat di mana ada timbal balik dari keduanya. Dari segi mempelai, resepsi menjadi sebuah aksi unjuk diri bahwa pesta seumur hidup sekali ini akan dikenang oleh banyak orang dengan konsep yang berbeda tiap pasangan. Semakin mewah pesta, maka keluarga mempelai akan semakin bangga. Dari segi tamu, menghadiri resepsi pernikahan adalah bentuk menghargai mereka kepada mempelai dan memberikan sumbangan terbaik. Hal ini dilakukan karena sebagian orang akan berpikir bahwa sumbangan yang mereka berikan akan balik ke mereka ketika mereka juga memiliki hajatan .

Sebuah resepsi pernikahan menjadi norma kelaziman bagi masyarakat Indonesia di mana sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan secara turun temurun menghasilkan sebuah prestige bagi pasangan yang melakukannya. Resepsi yang mewah dan meriah akan selalu dikenang sepanjang masa baik bagi mempelai maupun tamu yang diundang. Tidak menampik bahwa era digital sekarang ini memberikan kemudahan dalam segala bidang. Modernisasi memancing seseorang untuk bergaya hidup konsumtif. Perilaku konsumtif juga terlihat dalam resepsi pernikahan. Semakin mampu seseorang semakin banyak tamu yang diundang, semakin beragam makanan yang disajikan, semakin mewah dekorasi dan cinderamatanya. Hal ini yang belakangan melahirkan bisnis Wedding Organizer (WO) semakin ramai. Di era new normal ini, bisnis WO mulai menunjukkan jati dirinya kembali. Dengan beragam konsep seperti masa normal namun ditambahi dengan protokoler kesehatan. Sebuah resepsi pernikahan yang tetap dilakukan dalam kondisi apapun, meskipun di tengah pandemi yang melanda  di masyarakat kita tentu menjadi sebuah sign value atau nilai tanda bagi pelakunya. Resepsi pernikahan menggambarkan sebuah nilai tanda kelas sosial kepada kedua belah pihak dan dianggap tetap”mampu” karena dilaksanakan di tengah pandemi. Pola pikir di masyarakat adalah sebuah resepsi pernikahan merupakan keabsahan bagi pengantin dan disaksikan serta dihadiri orang banyak.

Talcott Parsons menjelaskan bahwa setiap individu harus memiliki kemampuan beradaptasi sehingga bisa bertahan terhadap lingkungannya. Di sisi lain, individu juga memiliki kemampuan untuk merubah lingkungan sesuai apa yang diharapkan. Sebagaimana dalam skema tindakan Parsons, terdapat empat komponen penting dalam sistem social yakni; actor atau pelaku, tujuan, situasi, dan standar-standar normatif yang berlaku dalam masyarakat. Tindakan konsumtif tidak terlepas dari keempat komponen tersebut. Individu sebagai aktor atau pelaku memiliki kekuasaan penuh terhadap dirinya untuk mengambil bagian dari lingkungan yang dianggapnya memberikan kontribusi terhadap nilai sosial dirinya[5]. secara sosiologis , individu dianggap mampu beradaptasi dengan standar normatif yang ada, dalam hal ini resepsi pernikahan menjadi sebuah standar pernikahan yang harus diadakan karena telah berlangsung cukup lama dan berkembang menjadi adat. Resepsi pernikahan yang mewah dengan standar wilayah sendiri sendiri misalkan di perkotaan resepsi hadir di gedung megah atau outdoor dengan menggunakan jasa WO dan di wilayah pinggiran atau pedesaan resepsi pernikahan dihadiri selurh warga desa dan tetangga desa dengan pesta berhari hari ditambah dengan orkes dangdut atau campursari, melahirkan perilaku konsumtif di masyarakat. Kesan yang didapat dari sebuah resepsi akan mengena di hati tamu para undangan sehingga akan menggulirkan bentuk resepsi yang sama pula bahkan bisa dibuat lebih meriah, dan semua hal ini tetap terjadi meskipun di masa pandemi.

 



[1] Ranjabar.Perubahan Sosial dalam Teori Makro, hal 12.

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan

[3] https://kamuslengkap.com/kamus/jawa-indonesia/arti-kata/jagong

[4] Wawan mas’udi-Poppy S.Winanti. New Normal: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19,hal.7.

[5] Nila Sastrawati.Konsutivisme dan status sosial ekonomi masyarakat.hal 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DarulHikmah

Sebagai salah satu pusat pendidikan di sekolah, sebuah perpustakaan haruslah dapat memenuhi kriteria standar agar tercapai suatu kelayakan dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu,dibutuhkan perhatian khusus dari semua lini terutama kepala sekolah agar dapat berkembang sejalan dengan visi misi yang dicanangkan. Dalam era globalisasi, pemanfaatan teknologi sangatlah penting, pun dapat diterapkan dalam mengembangkan perpustakaan ini dari segi pelayanan dan informasi.




Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *